Selasa, 29 desember 2015
Bahagia
karena harapan dan kenyataan
Pada suatu hari ada kegiatan pelatihan menulis
untuk mahasiswa yang diadakan oleh salah satu dosen Pendidikan bahasa Arab. Acara
ini diadakan untuk pembinaan finalis Putra Putri Bahasa Arab atau biasa disebut
dengan PAPIBA. Bukan suatu hal yang mudah dan gampang bagiku untuk menghadiri
acara seperti itu. Mungkin karena ada atom penyemangat di kampusku yang bisa
membuatku datang ke acara itu. Dia adalah seorang mahasiswa PBA yang mungkin
telah memberikan harapan padaku tentang rasa yang ia kodekan. Atau entah hanya
aku yang kegeeran. Cobang namanya. Sebutan nama rahasia yang ku tuliskan
untuknya.
Aku datang menghadiri acara itu dengan harapan
aku bisa bertemu dengannya, karena mungkin dia akan pulang ke rumahnya untuk
menikmati minggu tenangnya. Dia bukan seorang biduan yang terkenal, hanyalah
seorang yang bisa nyanyi dan menetramkan hati.
Setelah kusampai di ruangan pelatihan, aku
menuju bangku paling belakang. Kutatap seluruh kursi yang ada di kelas, namun
tak ku temukan satu titik penerang yang mebuatku bahagia. Ternyata cobang tak
ada di kelas. Aku kecewa, dalam pikirku apakah mungkin dia belum kembali ke
pesantrennya? Karena mengikuti lomba hadroh di kudus bersama team rebananya.
Aku merasa membutuhkannya seperti ada sebuah harapan yang harus bertemu dengan
cobang. Apakah ini kangen? Entahlah...
Lalu ku ambil hp butuku, ku sms dia “gak
berangkat pelatihan?”
30 menit kemudian hpku berbunyi sms masuk
tampaknya. Kubuka ternyata benar. “hmm aku ketiduran li, tidur dari jam 11.00,
ini malah belum sholat juga, aduhh..” balasannya. Hatiku bahagia. Ku balas lagi
“yasudah sholat deh bangun sana”. Kataku perhatian.”
“salam
buat yang disitu ya, khusus untuk ustadz malik, sampaikan maaf aku tak dapat
mengikuti acaranya’’. Balasnya lagi. “siap,” jawabku singkat.
Sms
pun berlanjut sampai hari berikutnya. Aku merasa bahagia seperti layaknya orang
jatuh hati lainnya.
Pada pagi harinya, aku mengajaknya
makan lewat sms. “makan yuk”. Kataku. “nanti malah kuhabiskan makananmu.”
Balasannya.
“tak
apa akan ku buatkan lagi nanti untukmu”. Balasku. ‘’oke siap, kapan-kapan yaa J’’.
‘’ya
deh, aku siap kok”. Dia menjawab lagi “kayak orang mau lomba aja kamu lia...
heheh” balasnya yang gak cuek seperti biasanya.
Namun rasa bahagia itu hadir selama
dua hari saja. Karena tak ada aba-aba dalam hpku dia akan membalas smsku,
setiap kali hp berdering yang kuharapkan adalah sms darinya, ternyata bukan. Tapi
aku sadar, dia bukanlah orang yang gila akan media sosial, sms, atupun yang
lainnya. Hanya dia terkadang sibuk dengan hpnya entah apa yang dia lakukan.
Dihari yang terang kududuk sendiri di
kampus menunggu dosen untuk bertemu. Menunnggu adalah hal yang sangat
membosankan. Aku menunggu kabar darinya. Aku gelisah karena terlau berharap.
Dalam benakku aku bertanya, apakah etis jika aku yang harus sms cobang terlebih
dahulu?” aku tak berfikir panjang, jemariku berjalan dan tak bisa ku hentikan
dengan rasaku. Namun ditengah perjalanan jemariku mengerem terhenti karena akal
sehaatku.
Jika cobang sedang bersama orang lain,
entah kenapa aku merasa cemburu. Tak mudah bagi aku untuk jatuh cinta pada
seorang lelaki. Namun tak mudah juga untukku melupakan seorang lelaki yang
sudah ada dihatiku.”
Aku
tak tahu apa yang akan terjadi selanjtunya, ataukah aku akan hidup bersama
cobang atau dengan yang lain. Harapanku sampai saat ini cobang adalah jodohku.
Namun, rencana dan takdir Allah siapa yang tahu?
Kamis, 31 Desember 2015
Sadarkan
aku tentang sahabat
Saat ini sudah tak ada lagi tempat tuk
mencurahkan tangisanku. Dipojok kamar
kos bertembok biru ku termenung menatap layar laptop sendiri bagai orang yang
tak punya siapa-siapa. Kutuliskan secercah isi hatiku sambil meneteskan air
mata yang tak bisa ku hentikan. Minggu tenang ini benar-benar membuatku banyak
merasakan semakin mengertinya arti persahabatan dan nafsu teman yang tak setia
tuk menemani susahnya diriku. Yang sudah tak bisa tuk ditunjukkan pada dunia
arti sahabat, tak mudah memahami perbedaan seorang teman, tak seindah lagu arti
sahabat yang bisa menghadapi duni dan menggenggam tangan bersama sang sahabat.
Awalnya ku tak apa ditinggalkan, namun itu hanya
di bibirku saja. Menurutku sahabat yang paham akan memahami dan peka apa yang
aku inginkan. Pada saat itu, h-1 menjelang tahun baru 2016 aku di kos bersama
sahabatku, jane. Dia seorang santri pesantren yang selalu biasanya menemaniku
dikala aku tak ada teman, dan juga sebaliknya. Kita janjian untuk menginap di
rumah temen yang satunya, sire, namanya. Ceritanya ingin malam tahun baruan
disana.
Setelah aku mengiyakan ternyata ada
sebuah kelupaan dalam ingatanku, bahwa aku telah berjanji dengan seorang yang
akan menginap di kosku, dan itu orang baru. Dengan gampang ku katakan, “eh jane
aku ada janji lupa dengan seorang teman kakak kelasku akan menginap di kosku
untuk malam ini”.
Lalu
jane menimpali “tapi kan kau sudah janji denganku, dan aku sudah bilang nih ke
sire bahwa kita akan kesana”. Dengan wajah ketusnya dia menjawab.
“yasudahlah,
tinggal kau saja yang pergi aku di kos saja menunggu teman kakak kelasku sampai
sini, aku gak bakal meninggalkannya karena dia adalah orang baru, aku kasihan
jika dia membutuhkan sesuatu nantinya”. Timpalku dengan nada agak tinggi
juga’’.
Jane diam dengan wajah ditekuknya, akupun malas
untuk memandangnya, akhirnya aku turun ke lantai bawah ke kamar kos lain. Aku
tidur disana, menunggu dia pergi. Jane sms, tak ku balas awalnya.
‘’li,
kamu marah denganku?” tanyanya. Lama tak kubalas sms itu karena hpku juga ku
silent karena aku merasa gerah kenapa sahabat tapi tak pernah mengerti posisi
seorang sahabat. Batinku.
‘’gak’’.
Kubalas singkat. “jane membalasnya lagi dengan rasa tak enak padaku mungkin.
‘’yang bener li, aku merasa gak enak sama kamu’’.
Dalam
batinku “halah tak enakmu hanya di bibirmu saja. Bukan pada kenyataannya’’.
Geramku dalam hati. Namun lama kubalas smsnya lagi “iyagak kok asal kamu bisa
ngertiin aku aja, tapi jika nanti atau lain waktu kau buatku kesel lagi aku
bakal marah beneran.’’
‘’iya
jane maafkan aku ya, jangan marah lagi nanti aku ngungsi dimana jika kau
marah?” balasnya. Ku cukup membalas dengan singkat “:p’’.
Beberapa
menit kemudian, dia sms lagi “nanti aku jadi ke rumah sire aku tak enak udah
janjian dengan sire. Tak apa aku pergi kesana sendiri, kamu jangan marah
yaa...”
Kenapa
gak berani ngomong langsung? Batinku. Tak kubalas sms itu, karena aku merasa
terskiti karena dia ternyata lebih memilih untuk meninggalkanku daripada
nafsunya yang ingin malam tahun baruan disana.
Bagiku fine, tapi ku menangis di pojok barat
kamarku, karena aku berfikir ada ya seorang teman seperti itu. Aku tak tahu apa
yang akan terjadi nantinya. Aku hanya bisa menangis. Dalam hati ku bertanya
‘’apakah aku yang terlalu jahat pada teman?’’ ‘’Apakah aku yang egois mementingkan
orang lain yang belum ku kenal daripada ku ikut bermain dengan teman akrabku?’’
Namun dalam hati aku tetap mengikuti kata hatiku, hatiku tak ingin pergi, aku
ingin belajar bertanggung jawab karena aku sudah mempunyai janji dengan orang
lain yang lebih membutuhkan. Mungkin memang tuhan membukakan dan memberikan
jalan untuk mengerti apa itu teman? Teman itu banyak, sahabat itu banyak, namun
seorang yang bisa bertahan dengan keadaan kita pada kenyataannya adalah tak
ada. Mungkin kawan pernah merasakan hal seperti itu.
Teman yang mendengarkan kata curhatan kita
banyak, yang mau meberikan solusi untuk masalah kita banyak. Tetapi yang mau
bertahan dengan segala keadaan kita mungki tak ada. Jangankan teman, terkadang
seorang yang terikat darah layaknya suami istri terkadang juga tidak bisa
selalu ada ketika salah satu membutuhkannya. Teman yang mau menemani kita dalam
keadaan apapun hanyalah bersifat sementara, seperti kehidupan dunia saja jika
dibandingkan dengan akhirat yang selamanya.